Thursday, February 7, 2008

Budaya "Okay" dari Jagat Artifisial

DUNIA hiburan negeri ini memunculkan pembawa acara mulai dari Krisbiantoro, Tantowi Yahya, sampai Nirina. Hiburan yang menjadi industri saat ini mencetak banyak lagi pemandu acara. Gaya, tabiat, dan perangai wicara mereka bisa membuat penonton terpesona, tetapi ada pula yang menyebalkan.

SUATU kali, Krisbiantoro (66), master of ceremony (MC) atau pembawa acara kawakan itu, berada di acara yang sama dengan pemandu acara muda usia, 20-an tahun. Krisbiantoro yang sudah dikenal di awal 1970-an itu prihatin karena emce muda itu meneriakkan kata okay sampai ratusan kali.

Krisbiantoro lalu menanyakan soal obral kata okay itu. "Saya bilang sama dia, ’Mbak-mbak, mbok ya okay-nya dikurangi’."

Dengan jujur, pembawa acara muda itu mengaku. "Iya Oom, kadang saya blank (kosong) dan tak tahu harus ngomong apa," kata Kris menirukan rekan mudanya.

Begitulah si okay menjadi senjata ampuh untuk mengisi kekosongan seorang MC. Dalam pendapat Krisbiantoro, rentetan kata okay itu muncul dari kedangkalan wawasan dan ketidaksiapan seorang pembawa acara. Kedangkalan atau keterbatasan wawasan itu pula yang kemudian melahirkan tabiat yang di mata penonton terasa aneh, lucu, dan memuakkan.

"Untuk menghindari kekosongan itu kita sering melihat sepasang pembawa acara teriak-teriak, sedangkan yang lain tepuk tangan sendiri lalu tertawa sendiri," kata Krisbiantoro yang pekan lalu meluncurkan autobiografi berjudul Manisnya Ditolak yang memuat pengalaman selama lebih dari tiga dekade di dunia hiburan.

KRISBIANTORO muncul sebagai pembawa acara ketika pentas hiburan belum semeriah saat ini. Pada awal era 1970-an, dunia hiburan mengenal nama pembawa acara seperti Olan Sitompul, Oloan Sitompul, Tatiek Tito, Mang Cepot, sampai Mpok Ani dan Bang Madi. Mereka dikenal di radio, televisi, atau juga langsung di depan publik. Setelah itu muncul pula Bob Tutupoli, yang sampai sekarang masih muncul dengan jasnya yang "ngejreng", sampai Koeshendratmo.

Era akhir 1980-an, muncul nama-nama seperti Tantowi Yahya, Kepra, dan lainnya. Angkatan Tantowi boleh disebut sebagai "generasi transisi". Mereka hadir ketika negeri ini mulai melangkah menuju zona hiburan (entertainment zone) di mana hiburan menjadi "panglima" dan menyemangati berbagai aspek kehidupan. Peristiwa dagang sampai politik akan mengakomodasikan elemen yang menghibur.

Dalam iklim seperti itu, lahan bagi profesi pembawa acara terbuka luas. Hajatan formal seperti peluncuran produk mobil, komputer, telepon seluler sampai mi instan dibuat menjadi lebih menghibur. Mereka membutuhkan pemandu acara sebagai ujung tombak hidup matinya suasana.

Bisnis hiburan semakin meriah dengan hadirnya sebelas stasiun televisi. Berbagai acara mereka membutuhkan jasa seorang pembawa acara, pemandu acara, atau presenter. Pada perhelatan di luar layar kaca mereka disebut MC. Di antara itu semua, terdapat sekitar 50 acara berjenis infotainment yang juga membutuhkan penyampai acara.

Era baru industri hiburan itu memunculkan nama seperti Ussy Sulistiawaty sampai Nirina. Muncul pula puluhan nama lain yang sebelumnya dikenal sebagai pemain sinetron, pelawak, model iklan, peraga busana, atlet, pengusaha, atau bisa jadi tetangga sebelah yang kebetulan berpenampilan menarik.

Saking maraknya kebutuhan industri akan pembawa acara, sebuah rumah produksi sampai kewalahan mencari pembawa acara siap pakai. PT Shandika Widya Cinema yang antara lain memproduksi acara Kabar Kabari itu sampai perlu mengadakan lomba presenter untuk mencari bakat baru pembawa acara. Acara digelar di lima kota: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Bali, dengan grand final yang akan diadakan pada 21 Desember di Bali.

Menurut Yanti Iskandar Herianto, Managing Director Shandika, pihaknya mensyaratkan presentar harus mempunyai pesona visual (camera face). Mereka juga harus mempunyai kemampuan wicara yang baik, termasuk suara yang enak didengar serta intonasi yang nyaman. Selain itu, mereka juga harus mampu mengolah informasi dengan kata-kata sederhana yang menarik didengar.

APA boleh buat, industri menuntut pesona visual untuk seorang pembawa acara. Mereka menciptakan pembawa acara menurut kaidah keindahan ragawi yang telah menjadi materi jualan industri hiburan televisi. Maka, Ferry Salim (37), model yang kemudian menjadi bintang sinetron itu sejak tiga tahun lalu juga dikenal sebagai pembawa acara televisi.

Pesona yang dicitrakan industri hiburan itu kemudian ditarik ke realitas sehari-hari. Jangan heran jika kemudian Ferry Salim pun oleh penggemarnya didaulat menjadi MC di acara perkawinan. Dia semula sama sekali tidak berpikiran untuk menjadi seorang pembawa acara. Suatu kali dia ditawari oleh sebuah stasiun televisi untuk menjadi pembawa acara (host).

"Karena ada tawaran, ya saya coba saja. Pada awalnya saya sempat merasa tidak mampu karena kayaknya susah. Tetapi, mereka mempercayai saya dan memberi kesempatan kepada saya," kata Ferry Salim yang antara lain memandu acara di Metro TV.

Ferry belajar sungguh-sungguh untuk profesi barunya itu. Dia mempelajari teknik wicara dan gerak tubuh (gesture) pembawa acara terkenal, seperti penampilan Jay Leno yang antara lain dikenal sebagai pemandu acara televisi The Tonight Show.

Ussy Sulistiawaty (24) termasuk presenter acara yang dimunculkan oleh industri hiburan. Dia mengaku tidak mempunyai dasar sebagai pembawa acara. "Karena ditawari casting, ya saya ikut saja. Waktu bicara di depan kamera ya lancar, keluar begitu saja," kata Ussy yang sejak tahun 2002 menjadi pembawa acara infotainment Kabar Kabari di RCTI.

Belakangan Ussy menjadi pemandu acara Kontes Dangdut TPI (KDI). Dia juga memandu acara Gelar Pancho dan Pesona Dangdut. Di luar televisi, dia melayani order untuk ngemce di acara peluncuran produk, hajatan perkawinan sampai pesta ulang tahun. Selain itu, dia juga merambah profesi model iklan sampai pemain sinetron.

Lain dengan Nirina Raudatul Jannah Zubir (24) yang masuk ke dunia presenter karena suka ngomong alias bawel. Dia suka menggambarkan segala hal dengan kata-kata.

"Itu gift (bakat), kebiasaan. Kenapa kebiasaan bawel itu tidak dijadikan pekerjaan saja," kata Nirina yang kemudian mewujudkan kebawelan itu dalam profesi sebagai penyiar di radio MTV Sky, dan sejak awal tahun 2003 dikenal sebagai video jockey (VJ) MTV.

Mereka mengaku sesekali pernah mentok kata-kata di depan publik. Ussy mengakui, suasana mentok muncul ketika dia kurang menguasai medan.

"Yang paling fatal itu kalau lagi blank di siaran langsung. Kita jadi diem saja dan rasanya jadi garing banget. Biasanya saya tarik napas sebentar, terus senyum-senyum, ketawa, atau lempar ke partner. Saya juga juga lempar pertanyaan ke pononton, ’Okay, belum kantuk kan!’" kata Ussy menirukan gayanya di pentas.

Kebekuan suasana yang bisa muncul mendadak itu bisa timbul karena kekacauan dari penyelenggara acara yang kemudian harus ditanggung pembawa acara. Nirina mempunyai kiat menghadapi kebekuan mendadak itu dengan memandang publik sebagai teman.

"Saya jujur dengan menjelekkan diri sendiri. Saya tidak menutupi bahwa saya memang tidak selalu the best. Kelemahan itu saya jadikan kekuatan," kata Nirina yang belakangan juga menjadi pemain film.

SEORANG pembawa acara, menurut Krisbiantoro, seharusnya berbicara dengan otak. Atau, dalam rumusan Tantowi Yahya, seorang pembawa acara bukan sekadar sosok penghafal naskah. Yang terjadi di era industri hiburan belakangan ini, ada pembawa acara yang sekadar berfungsi sebagai penyambung lidah penulis naskah. MC ciptaan atau pembawa acara dadakan semacam itu biasanya akan gelagapan menghadapi situasi di luar rencana atau yang tidak tersurat di naskah.

"Apa arti ganteng, luwes, atau bahasa yang baik kalau seorang MC tidak menguasai materi yang disampaikan. Ucapan di pentas itu tidak datang dari kepala dia. Yang diomongkan itu hanya template (cetakan). Itu memang memudahkan, tetapi itu tidak sehat" kata Tantowi yang mulai dikenal sebagai pembawa acara Gita Remaja di TVRI di akhir 1980-an.

Penampilan seorang MC di pentas, bagi Tantowi, 99 persen ditentukan oleh persiapan, termasuk penguasaan materi. Sisanya adalah unsur yang lain, termasuk yang bersifat fisik. Kekurangmatangan intelektual dan ketidaksiapan menghadapi materi itulah yang kemudian melahirkan suasana garing, seloroh menyebalkan, atau teriakan seperti "okay".

Kepada si tukang teriak okay itu Krisbiantoro sempat berpesan, "Nduk, jadilah MC tetapi jangan ngemce. Jadilah artis tetapi jangan ngartis."

Nduk adalah sapaan mesra kebapakan dari seorang kepada orang lain yang lebih muda. Ngemce dan ngartis, mengacu pada pengertian sok atau tindakan yang bersifat pura-pura, semu, kulit luar, alias artifisial. Dalam industri hiburan saat ini, yang serba artifisial itu kini disodorkan di depan mata. Termasuk lewat pembawa acara itu. Okay!!

Sumber : KCM

No comments: